Tersembunyi rapi di kaki Bukit Desa Walasiho, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, ada sebuah telaga jernih bak cermin alam Danau Biru. Dikelilingi dinding bebatuan dan pepohonan lebat, danau ini bagaikan permata tersembunyi yang baru mulai bersinar.
Meski harus menempuh jarak 320 kilometer dari Kendari dan melewati jalan peninggalan era kolonial Belanda, kelelahan itu seketika terbayar saat mata disambut permukaan danau yang berwarna biru kehijauan, jernih hingga dasar, dengan ikan-ikan kecil berenang bebas di dalamnya. Danau ini tak hanya menyegarkan tubuh, tetapi juga menenangkan jiwa.
Tak jauh dari pantai Teluk Bone, Danau Biru dulunya dikenal dengan nama Matandahi, yang berarti “mata air laut” dalam bahasa Tolaki. Uniknya, air danau ini terasa payau karena langsung terkoneksi dengan laut yang hanya dipisahkan dinding batu selebar 20 meter. Tiga mata air alami mengalir dari celah bukit, menjadikan danau ini dingin menyegarkan sepanjang waktu.
Namun Danau Biru bukan hanya soal keindahan tapi juga sarat cerita mistik. Warga lokal meyakini danau ini dahulu menjadi tempat mandi putri raja. Beberapa pengunjung bahkan mengaku melihat penampakan pusaka tua atau makhluk tak kasat mata. Di sini, keindahan alam berpadu dengan cerita-cerita legenda yang menambah pesona misterius.
Sejak 2017, pemerintah desa bersama BUMDes Walasiho terus mengembangkan tempat ini. Akses diperbaiki, fasilitas ditambahkan mulai dari tangga, gazebo, kamar mandi hingga alat snorkeling dan pelampung. Namun nilai sakral dan kealamian danau tetap dijaga.
Setiap akhir pekan, suara tawa pengunjung berpadu dengan desiran angin dan gemericik air menghidupkan kembali tempat yang dulu tersembunyi dalam diam. Danau Biru bukan sekadar destinasi, tapi sebuah pengalaman menyatu dengan alam, sejarah, dan cerita rakyat.(*)