Pada tahun 1828, seorang pelaut bernama Jacques Nicholas Vosmaer mendapat tugas dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk melakukan observasi terhadap jalur perdagangan di pesisir timur Sulawesi. Peta pertama Teluk Kendari di buat pada 9 Mei 1831 (yang kemudian tanggal 9 mei dijadikan momentum sebagai hari jadi Kota Kendari yang diperingati hingga kini). Dan Sejak 6 Februari 1835 teluk Kendari disebut sebagai Vosmaer’s Baai atau Teluk Vosmaer melalui Surat Keputusan Jenderal Van Den Bosch di Batavia. Dalam catatan perjalanannya yang berjudul Korte Beschrijving van het zuid oostelijk schiereiland van Celebes, Vosmaer menuliskan tertarik akan keindahan Teluk Kendari, setelah mendapat izin dari Tebau sebagai penguasa wilayah timur Kerajaan Konawe pada tahun 1832, Vosmaer kemudian mendirikan kantor dagang dan membuatkan istana Raja Tebau yang merupakan Raja Sao-sao dari Lepo-Lepo pindah ke Teluk Kendari. Kemudian Istana Kerajaan Laiwoi yang didiami Raja Tekaka anak dari Raja Sao-sao bermukim disekitar teluk Kendari pada akhir 1832.
Awal abad ke 19, Teluk Kendari terkenal dengan keamanannya sehingga suku lain berdatangan untuk bermukim dan berdagang. Kendari saat itu juga dikenal sebagai tempat penimbunan barang (Pelabuhan transito) Hal inilah yang merupakan titik tolak perkembangan Kendari menjadi kota pusat pemerintahan dan perdagangan.
Penamaan Kendari sendiri berasal dari kata “Kandai” yaitu alat dari bambu atau kayu yang dipergunakan penduduk teluk Kendari untuk mendorong perahu, dari kata Kandai inilah kemudian diabadikan menjadi kampung Kandai dan pengembangan dari kata Kandai menjadi Kandari selanjutnya dalam berbagai literature terakhir disebut Kendari. Suku Tolaki adalah Penduduk asli Kendari.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, Kendari yang hanya seluas ± 31,40 km² saat itu, adalah wilayah Kewedanan sekaligus Ibu kota Onder Afdeling atau Bun Ken Laiwoi. Pada tahun 1950 Kerajaan laiwoi dengan rajanya Tekaka diubah menjadi Swapraja Laiwoi, Swapraja berarti pemerintahan sendiri atau daerah yang memiliki kedaulatan atau otonomi tersendiri. Sepeninggal Raja Tekaka yang wafat tahun 1955, Kendari berubah dari ibukota kecamatan kemudian berkembang menjadi ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II berdasarkan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 tanggal 4 juli 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, kemudian tepat tanggal 3 Maret 1960 Drs. Abd. Silondae dilantik sebagai Bupati Kendari pertama bertempat di Gedung Sekolah Cina Kota Kendari.
Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 jo. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 menandai awal ditetapkannya Kendari sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada masa itu, wilayah Kendari hanya terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kendari dan Kecamatan Mandonga, dengan luas wilayah sekitar 76,760 km².
Pemerintahan Daerah Tingkat II Kendari awalnya berpusat di Kabupaten Kendari. Kemudian, ketika Andrey Jufri, SH menjabat sebagai Bupati Kendari antara tahun 1977–1988, ia mengajak sekitar 200 Pegawai Negeri Sipil untuk menuju Unaaha guna membentuk sebuah kabupaten. Setelah diadakan seminar bersama masyarakat dan melalui proses yang berlangsung selama dua tahun, akhirnya Unaaha resmi menjadi Kabupaten Konawe, yang terpisah dari Kota Administratif Kendari.
Pada 1 Juli 1978 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pembentukan Kota Administratif Kendari. Kebijakan ini mengubah status Kendari menjadi Kota Administratif, yang meliputi tiga kecamatan, yakni Kecamatan Kendari, Mandonga, dan Poasia, dengan 24 desa dan luas wilayah sekitar 187,990 km². Adapun penggagas terbentuknya Kendari sebagai Daerah Administratif terdiri dari berbagai tokoh pemerintah dan masyarakat, antara lain Gubernur Sulawesi Tenggara periode 1978–1981, Drs. Abdullah Silondae, serta tokoh masyarakat seperti Abunawas Bupati Kendari periode 1969 – 1973, Drs. H. Yakub Silondae, Baruga Tekaka, Drs. Abdurrauf Tarimana, Abd. Hamid Hasan, dan Drs. Annas Bunggasi dan beberapa tokoh lainnya.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kota Administratif Kendari, pada 3 Agustus 1995, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1995 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari, Kota Administratif Kendari resmi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Drs. H. Muhammad Amin pada tanggal 27 September 1995. Luas wilayah Kendari bertambah menjadi sekitar 298,89 km², yang merupakan 0,7 persen dari luas daratan Sulawesi Tenggara. Dimana Penggagas perubahan status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari terdiri dari Gubernur Sulawesi Tenggara periode 1992–1997 Drs. H. Laode Kaimoeddin, Wali Kota Administratif Kendari Periode 1993–1995 Drs.H. La Ode Muhammad Salihin Sabora, dan anggota DPRD periode 1992–1997 yang dipimpin oleh Soekarno, SH dari Fraksi ABRI, Bersama 20 orang anggota antara lain H. Anwar Tombili dan Drs. Djufri gamoro serta tokoh masyarakat diantaranya dr.H.Asrum Tombili, M.Kes, Drs.H.Ibrahim Palatje dan tokoh lainnya.
Pada akhirnya, dengan terbitnya Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada 7 Mei 1999, nama Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari diubah menjadi Kota Kendari dengan Pusat pemerintahan berada di Kota Kendari hingga saat ini, meliputi 11 kecamatan dan 65 kelurahan. Dengan Penggagas terbentuknya Kota Kendari, dari unsur Pemerintah antara lain Gubernur Sulawesi Tenggara periode 1997–2003 Drs. Laode Kaimoeddin, Wali Kotamadya tingkat II Kendari Periode 1996–2001 Drs. H. Mansyhur Masie Abunawas, serta anggota DPRD periode 1999–2004 yang dipimpin oleh H. Haeruddin Pondiu dari Fraksi Golkar, bersama 25 orang anggota antara lain Hj. Sitti Arfah Panudariama dan Dra. Dewiyati Tamburaka serta tokoh masyarakat lainnya.
Selain suku Tolaki, Masyarakat Kota Kendari berasal dari berbagai suku yang telah lama bermukim di kota ini, seperti suku Muna, Buton, Mornene, Bugis, Jawa, Bali, Toraja, dan suku-suku lainnya. Dengan perkembangan yang pesat, Kota Kendari kini menjadi pusat pemerintahan, perekonomian, dan budaya yang terus berkembang seiring dengan keberagaman masyarakatnya.
Selama terbentuknya Kota Administratif Kendari, Kota Kendari berturut-turut dipimpin oleh :
- H. Mansyur Pamadeng (1978-1979);
- Drs. H. Muhammad Antero Hamra (1980-1985);
- Drs. H. Anas Bunggasi (1985-1987);
- Kolonel Adi Mangilep (selaku Pelaksana Tugas tahun 1988-1991);
- Drs. H. Andi Kaharuddin (selaku Pelaksana Tugas tahun 1991-1992);
- Drs. H. Usman Sabara (selaku Pelaksana Tugas tahun 1993-1993);
- Drs. H. La Ode Muhammad Salihin Sabora (1993-1995); dan
- Kolonel A. Razid Hamzah (selaku Pelaksana Tugas tahun 1995-1995).
Kendari sebagai daerah otonom berturut-turut dipimpin oleh :
- Drs. Lasjkar Koedoes (selaku Pejabat Walikota tahun 1995-1996);
- Drs. H. Masyhur Masie Abunawas (1996-2001);
- Drs. H. Andi Kaharuddin (selaku Pejabat Walikota tahun 2001-2002);
- Drs. H. Masyhur Abunawas M.Si. dan wakilnya Ir. Andi Muzakkir Mustafa, MM. (2002-2007);
- Dr. Ir. H. Asrun, M.Eng.,Sc. dan wakilnya H. Musadar Mappasomba, SP.,MP. periode pertama (2007-2012) dan periode kedua (2012-2017);
- Adriatma Dwi Putra, ST. dan wakilnya H. Sulkarnain K, SE.,ME. (2017);
- H. Sulkarnain K, SE., ME. dan wakilnya dr. Hj. Siska Karina Imran, SKM periode 2017-2022.
- H. Asmawa Tosepu, AP., M.Si (selaku Pejabat Walikota Periode 2022-2023);
- Muhammad Yusup, SE., M.Si (selaku Pejabat Walikota periode 2024 – 2025);
- Parinringi, SE., M.Si (selaku Pejabat Walikota tahun 2025);
- dr. Hj. Siska Karina Imran, SKM dan Wakilnya Sudirman ( Wali Kota dan Wakil Wali Kota Kendari periode 2025 – 2030). (kendarikota.go.id)