El-Fasher, Sudan — Konflik berdarah di Sudan kembali menelan korban besar. Lebih dari 2.000 warga sipil dilaporkan tewas dalam waktu 48 jam setelah kelompok bersenjata Rapid Support Forces (RSF) merebut kota El-Fasher, ibu kota provinsi Darfur Utara, dari pasukan pemerintah pada 26 Oktober lalu.
Kekejaman itu dilaporkan oleh berbagai media internasional seperti The Guardian, The Daily Telegraph, dan The Daily Mail. Mereka mengutip citra satelit yang memperlihatkan hamparan pasir berwarna merah akibat darah para korban serta tumpukan jenazah di sekitar kendaraan dan barikade pasir yang didirikan RSF di pinggiran kota.
Menurut laporan saksi, banyak warga sipil ditembak mati saat mencoba melarikan diri dari wilayah yang dikuasai milisi. Organisasi kemanusiaan menilai tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan genosida.
Kelompok RSF, yang didominasi oleh milisi Arab dan merupakan kelanjutan dari kelompok Janjaweed, pelaku genosida di Darfur pada awal 2000-an telah bertempur melawan pasukan pemerintah Sudan selama lebih dari 18 bulan. Kini, RSF menguasai lima ibu kota provinsi di Darfur dan sekitar sepertiga wilayah Sudan.
Seorang sekutu pemerintah mengatakan bahwa pada 26–27 Oktober, lebih dari 2.000 warga sipil, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia, dibantai oleh pasukan RSF. Walau jumlah pasti korban masih diverifikasi, citra satelit menunjukkan bukti kuat terjadinya pembantaian besar-besaran.
Video yang diverifikasi oleh kantor berita AFP menunjukkan anggota RSF menembak warga sipil dari jarak dekat. Rekaman lain menampilkan eksekusi terhadap warga tak bersenjata serta puluhan jenazah di samping kendaraan hangus terbakar.
Pihak Proyek Riset Kemanusiaan Universitas Yale mengonfirmasi bahwa kekhawatiran akan jatuhnya El-Fasher kini menjadi kenyataan. Berdasarkan pemantauan satelit, warga non-Arab seperti Fur, Zaghawa, dan Berti menjadi sasaran pembunuhan sistematis melalui operasi “pencarian dari rumah ke rumah”.
Direktur proyek tersebut, Nathaniel Raymond, menyebut tragedi di El-Fasher sebanding dengan 24 jam pertama genosida Rwanda tahun 1994.
“Ini baru awal dari gelombang kekerasan besar. Saya belum pernah menyaksikan satu wilayah mengalami tingkat kebrutalan seperti ini,” ujarnya.
Tragedi El-Fasher menambah panjang daftar kekejaman dalam perang saudara Sudan yang telah berlangsung selama tiga tahun, menimbulkan krisis kemanusiaan besar dan memicu kecaman dari berbagai organisasi internasional.






