SULAWESI TENGGARA

Status Kawasan Hutan di Luar Pulau Jawa Tak Menjamin Kesejahteraan Masyarakat

97
×

Status Kawasan Hutan di Luar Pulau Jawa Tak Menjamin Kesejahteraan Masyarakat

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muh. Ukub, Pemerhati Sosial Sultra

Siaran Publik- Hutan kerap disebut sebagai paru-paru dunia, penyangga kehidupan yang menyediakan oksigen dan menjadi sumber air bagi manusia dan seluruh makhluk hidup. Keberadaan hutan memang vital. Namun, di luar Pulau Jawa, luasnya kawasan hutan ternyata belum berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Jika kita menengok peta sebaran hutan di Indonesia, daerah-daerah seperti Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, hingga Papua masih memiliki kawasan hutan yang sangat luas. Namun ironisnya, di wilayah-wilayah tersebut, masyarakat justru banyak menghadapi kesulitan dalam mengakses lahan untuk tempat tinggal maupun lahan bercocok tanam.

Pada era tahun 1970-an, jumlah penduduk Indonesia masih relatif sedikit. Kini, pada tahun 2025, populasi penduduk telah meningkat sekitar 70 persen. Sayangnya, perluasan wilayah berstatus kawasan hutan juga terus bertambah, sementara Areal Penggunaan Lain (APL) yang dapat dimanfaatkan untuk permukiman dan pertanian justru semakin menyempit. Akibatnya, masyarakat di luar Pulau Jawa kesulitan membuka lahan baru untuk pertanian dan perkebunan.

Padahal, sebagai negara agraris, Indonesia semestinya memberi ruang yang memadai bagi masyarakat untuk bercocok tanam. Bila kondisi ini dibiarkan, lambat laun status “negara agraris” hanya akan menjadi slogan, sementara masyarakat pedesaan kehilangan sumber penghidupan dan terpaksa mencari pekerjaan ke luar negeri sebagai tenaga kerja.

Lebih jauh, pergeseran budaya agraris di tengah keterbatasan lahan juga memunculkan dampak sosial. Banyak masyarakat adat dan petani tradisional kehilangan lahan garapan akibat tumpang tindihnya status kawasan hutan. Kondisi ini diperparah dengan regulasi yang sering berubah, seolah mengikuti kepentingan pihak tertentu, bukan berpihak pada rakyat kecil.

Di sisi lain, masuknya investasi besar, khususnya di sektor pertambangan, sempat memberi harapan akan peningkatan ekonomi lokal. Namun, kenyataannya, banyak wilayah tambang justru berstatus kawasan hutan lindung. Untuk memulai kegiatan produksi, perusahaan harus mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan, yang prosesnya panjang dan biayanya tidak sedikit. Di balik semua itu, masyarakat sekitar tambang tetap sulit mendapatkan manfaat ekonomi yang nyata.

Bukan berarti kita menolak investasi, Yang kita soroti adalah ketimpangan akses dan regulasi yang kerap tidak berpihak kepada masyarakat lokal.

Hutan memang penting untuk keberlanjutan lingkungan, namun pengelolaannya seharusnya juga memperhatikan keseimbangan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Regulasi kehutanan tidak boleh hanya menekankan aspek pelestarian, tetapi juga harus membuka peluang bagi masyarakat untuk hidup layak tanpa harus berkonflik dengan aturan negara.

Kini saatnya pemerintah meninjau ulang status kawasan hutan, khususnya di luar Pulau Jawa. Penataan ulang tata ruang yang lebih adil sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat memiliki ruang hidup dan ruang ekonomi yang layak. Sebab, kesejahteraan masyarakat seharusnya menjadi tujuan utama dari setiap kebijakan pengelolaan sumber daya alam di negeri ini.